Tabloid Indonesia Barokah di Tengah Senjakala Media Cetak
Selama beberapa tahun terakhir yang didengungkan adalah lonceng kematian bagi media cetak telah tiba. Kita menyaksikan satu-per satu media cetak gugur. Sinar Harapan, Jakarta Globe, Rolling Stone Indonesia, Hai dan terakhir tabloid Bola telah almarhum versi cetaknya.
Yang lain tinggal menunggu giliran atau hidup segan mati tak mau. Namun di tengah senjakala media cetak lahir tabloid Indonesia Barokah. Ada apa ini?
Biang keladi senjakala media cetak adalah perpindahan kebiasaan mengonsumsi berita. Dari baca media cetak beralih ke online. Semula kita baca berita kemarin di koran hari ini, tabloid malah menyajikan berita seminggu lalu Sekarang peristiwa bisa ketahui real time di dunia maya. Tentu saja koran, tabloid dan majalah kalah.
Di tengah hiruk-pikuk Pilpres 2019 tabloid Indonesia Barokah hadir sebagai sebuah anomali. Isinya tentu saja mengambil momen pilpres. Tapi yang lebih banyak disorot dan dikritik kubu capres 02 Prabowo-Sandi. Jika metode analisis framing diterapkan pada tabloid bakal ketemu isinya berat sebelah. Headlinenya, misalnya, terkesan mendiskreditkan gerakan 212. Kita mafhum gerakan itu telah menisbatkan pilihannya pada Prabowo-Sandi. Lantas, apa dengan begitu yang membuat tabloid ini dari kubu Jokowi-Ma'ruf Amin?
Menganalisis tabloid Indonesia Barokah dengan pendekatan jurnalistik rasanya tak tepat. Dengan sikap berat sebelah isi tabloid tersebut, alamat redaksi dan kru fiktif, kesahihannya sebagai produk jurnalistik dipertanyakan.
Dewan Pers juga telah mengabaikan tabloid ini. Artinya, tabloid Indonesia Barokah sama nilainya dengan pamflet atau materi kampanye lain, semisal spanduk dan baliho. Yang jadi tanya lalu, ceruk pasar macam apa yang hendak diraih tabloid ini?
Di Pilpres 2014 ada tabloid Obor Rakyat yang isinya hoax bilang Jokowi keturunan PKI. Walaupun hoax, tabloid itu sempat bikin heboh dan kubu Jokowi kerepotan. Artinya, meski media cetak tetap bisa jadi sarana kampanye (hitam) efektif bagi kelas sosial tertentu. Jurus sama sedang dipakai lagi di pilpres 2019?
Saat ini sekitar 132,7 juta jiwa penduduk Indonesia terhubung ke dunia maya. Penduduk Indonesia berjumlah 261,1 juta jiwa. Jika dikurangi mereka yang berinternet, ternyata sekitar 128,4 juta jiwa belum terkoneksi ke dunia maya. Bila mengandaikan pemilih usia milenial kita atau 40 persen (setara 80 juta jiwa) telah melek teknologi, masih ada ceruk pasar 60 persen yang kita asumsikan gaptek. Mereka inikah yang jadi target pembaca Indonesia Barokah?
Tabloid tersebut tak dijual di kios koran pinggir jalan, tapi diposkan ke pesantren-pesantren serta mayoritas ke luar Jawa. Di sini bukankah kian terindikasi tabloid itu dibuat demi politik pilpres? Lantas dengan berbagai indikasi itu kenapa pihak berwenang terkesan lamban mengusut? Apa kasus ini akan dibiarkan menguap digantikan isu lain?