Tabloid “Indonesia Barokah”, Kampanye Ala Demokrasi Liberal (?)
Tabloid “Indonesia Barokah” mendadak ramai diperbincangkan publik. Sejatinya, tabloid yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah ini sudah terbit sejak Desember 2018, namun baru menyeruak ke khalayak ramai saat pihak Prabowo-Sandi melapor ke polisi dan Bawaslu. Secara keseluruhan, tabloid tersebut dinilai memuat konten yang menyudutkan Prabowo-Sandi.
Halaman utama tabloid Indonesia Barokah memuat judul “Reuni 212: Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik?”. Lalu, Laporan Utama menurunkan ulasan berjudul “Prabowo Marah, Media Dibelah”, yang kontennya berisi kekecewaan Prabowo kepada media yang tak memberitakan Reuni 212 pada Desember 2018 lalu.
Sementara, Liputan Khusus menurunkan berita berjudul “Membohongi Publik untuk Kemenangan Politik?: Membongkar Strategi Semprotan Kebohongan”. Di bagian ini, Tabloid Indonesia Barokah mengulas soal kasus-kasus hoaks yang dilakukan kubu Prabowo, salah satunya terkait hoaks penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet beberapa waktu lalu.
Walau dianggap menyudutkan Prabowo-Sandi, Tabloid Indonesia Barokah kabarnya belum bisa disimpulkan bahwa kubu Jokowi-Ma’ruf yang membuatnya. Terlepas siapa dan berasal dari kubu mana pelakunya, sulit dimungkiri bahwa kehadiran tabloid Indonesia Barokah merupakan paket kampanye Pilpres 2019. Pertanyaannya, mengapa kampanye semacam ini bisa terjadi?
Menurut kubu Prabowo, tabloid Indonesia Barokah amat merugikan pihaknya. Jika dibiarkan, mereka menganggap tabloid tersebut berpotensi mengganggu ketertiban umum dan keresahan di masyarakat. Namun juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi Ma’ruf, Ace Hasan Sadzily menilai konten Indonesia Barokah tak perlu dikhawatirkan karena tidak mengandung unsur kebencian dan kebohongan. Bahkan politisi Partai Golkar itu meyakini, tabloid ini memuat fakta.
Sekalipun kontennya benar, lalu apa iya kampanye boleh menggunakan cara-cara demikian? Berdasarkan hasil sementara analisis Dewan Pers, tulisannya bertendensi menghakimi dan beritikad buruk.
Sejatinya, kampanye yang mirip dengan ala Indonesia Barokah ini sudah beberapa kali terjadi. Obor Rakyat, misalnya, yang mendiskreditkan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu. Begitupun dengan Independent Observer yang sempat menjadi polemik beberapa bulan lalu, dinilai menjadi corong kampanye Prabowo-Sandi.
Tak hanya itu, cara kampanye yang dianggap jauh nilai-nilai keadaban politik juga terjadi di ruang publik, yang dilakukan masing-masing kontestan pemilu. Kesemuanya dilakukan dengan satu tujuan: memenangkan kontestasi politik.
Lantas, apakah kampanye seperti itu merupakan risiko yang harus kita terima dari demokrasi liberal yang kita usung? Sebab, sejumlah kalangan menilai kampanye nir-etika dan moral demi memenangkan kontestasi politik mustahil terhindarkan di era “one man, one vote” ini.
Realitas tersebut dianggap hanya membuat dinamika politik Indonesia kian gaduh. Segregasi sosial-politik pun kian menganga di berbagai lapisan masyarakat, alih-alih bersatu mengusung semangat persatuan Indonesia. Jika memang demikian, perlukah kita segera mengevaluasi sistem demokrasi yang kita usung demi masa depan Indonesia yang dicita-citakan?