Bagaimana Mengundang Antusiasme Milenial di Pemilu 2019?

Ilustrasi watyutink (gie/watyutink.com

Pada 17 April nanti kita semua akan tahu hasilnya. Apakah kita akan punya presiden baru, atau presiden yang sekarang memerintah terpilih untuk bekerja di periode berikutnya. Apapun hasilnya, penentu suara kemenangan masing-masing kandidat, entah nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf atau 02, Prabowo-Sandi, adalah golongan pemilih muda atau akrab disebut milenial. Pemilih milenial mencapai 44 persen atau 192,8 juta orang dari seluruh pemilih. Yang dapat suara milenial diyakini bakal keluar jadi menang.

Masalahnya, apakah pemilih milenial kita peka pada politik? 

Milenial atau generasi muda kerap diasumsikan tak suka politik. Milenial lebih suka kongko di kafe, nonton film di mall, atau main game di handphone. Buat milenial politik itu kotor dan biarkan diurus kalangan kolot. Namun, benarkah semua asumsi itu? 

Sebagaimana ditengarai majalah Tempo, edisi 17 Februari 2019, ketika mendekati milenial, dua pasang calon memiliki masalah utama: keempatnya tak berasal dari kalangan milenial atau mereka yang lahir antara 1980-1994. Yang termuda adalah Sandiaga Uno, yang tahun ini berusia 50 tahun, disusul Jokowi, 57 tahun--keduanya dari Generasi X dan Baby Boomers. Dua lainnya jauh lebih tua: Prabowo Subianto 67 tahun dan KH Ma'ruf Amin tiga perempat abad. Dengan rentang usia yang jauh dengan pemilih milenial apa para capres-cawapres ini bisa efektif mendekati mereka? 

Salah satu trik yang dilakukan capres-cawapres adalah memasang atribut yang dekat dengan milenial. Sandiaga didandani baju biru muda, warna yang dipercaya identik dengan milenial, sedang Jokowi memakai jaket. Cara lain, mendekati ikon milenial seperti Nissa Sabyan, vokalis grup musik islami Sabyan yang tengah populer. Kedua kandidat sempat mendejati Nissa dan grup musiknya. Nissa dan Sabyan akhirnya berlabuh mendampingi kampanye paslon 01. Tapi, apa suara milenial hanya identik dengan Nissa Sabyan saja? 

Di sini kita sering keliru. Menganggap milenial Indonesia cuma terdiri atas satu sisi. Padahal, Indonesia terdiri atas gugusan banyak pulau, suku bangsa, dan agama. Ini berlaku juga buat mereka yang berusia di atas 17 tahun hingga 34 tahun. Milenial bukan cuma di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau Surabaya. Milenial tak hanya yang biasa online. Banyak juga milenial yang tinggal di pelosok negeri yang belum terjangkau listrik dan apalgi, internet. Apa aspirasi politik mereka seragam? 

Ingat, tidak semua milenial akrab dengan istilah startup atau unicorn. Buat sebagian besar milenial persoalan mengisi perut masih lebih penting ketimbang mengisi kuota internet. Masalahnya, pahamkah politisi kita akan hal ini? 

Melibatkan milenial dalam pemilu kali ini amat penting. Sebab, suara mereka sangat menentukan. Namun, sepatutnya juga milenial tak semata dijadikan target suara. Pada merekalah masa depan bangsa ini akan ditentukan kelak. Dari mereka lahir generasi berikut yang akan hidup di masa bangsa ini mendapati bonus demografi. Bila mereka salah pilih atau bahkan memutuskan tidak memilih, celakalah bangsa ini. Lalu, pertanyaan pamungkasnya adalah: bagaimana menarik milenial bahwa pemilu dan Pilpres 2019 amat menentukan nasib bangsa di masa depan? 

Apa pendapat Anda? Watyutink? 

Artikel Asli
TERKAIT